Sorong, 21 Juli 2025 — Perubahan iklim bukan hanya krisis lingkungan, melainkan juga krisis keadilan sosial yang nyata dirasakan masyarakat adat di Tanah Papua. Untuk merespons tantangan ini, para jurnalis, pegiat masyarakat sipil, dan organisasi lingkungan berkumpul dalam kegiatan Diskusi Tematik Perubahan Iklim untuk Jurnalis yang digelar di Gedung Serbaguna Walikota Sorong (Ec. Lambert Jitmau), Kota Sorong, Papua Barat Daya.
Kegiatan ini diselenggarakan pada Senin, 21 Juli 2025, sebagai bagian dari upaya memperkuat kapasitas jurnalis dalam meliput isu-isu perubahan iklim yang berpihak pada keadilan sosial, kearifan lokal, dan suara komunitas terdampak. Diskusi yang berlangsung selama satu hari ini mengusung tema besar “Peran Jurnalis serta Aksi-Aksi Lokal dalam Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Tanah Papua.”
Diskusi terbagi menjadi tiga sesi utama yang menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang, yakni media digital nasional, media lokal, organisasi lingkungan, dan organisasi masyarakat sipil. Para narasumber membahas strategi media dalam membingkai isu iklim, pentingnya liputan dari wilayah konflik ekologis, serta kolaborasi antara jurnalis, komunitas lokal, dan organisasi sipil dalam memperkuat narasi perubahan iklim yang inklusif dan berbasis komunitas.
Dalam sesi pertama, Akhyar Hananto, pendiri Good News Indonesia dan kontributor Mongabay, memaparkan potensi media digital dalam menjangkau audiens luas. Ia menyebut bahwa konten Good News Indonesia mampu mencatat 500 juta tampilan per bulan, menandakan kekuatan strategi konten yang tepat. Namun, menurutnya, tantangan terbesar adalah mengemas isu perubahan iklim yang tidak populer menjadi menarik dan menyentuh secara emosional.
“Sekarang konten tulisan kian sulit tersebar, apalagi di platform seperti Facebook yang tak lagi mendukung link artikel. Kita harus beralih ke video pendek, narasi visual, dan storytelling yang kuat,” ujarnya. Ia menekankan bahwa kunci keberhasilan bukan terletak pada alat, melainkan strategi. Bahkan media komunitas sekalipun bisa menyamai capaian media besar jika memiliki pendekatan yang kreatif dan konsisten. Selain itu, Akhyar juga menyoroti pentingnya membangun aliansi yang kokoh antara jurnalis dan organisasi masyarakat sipil agar narasi perubahan iklim tetap hidup, meskipun kerap terpinggirkan dari perhatian media arus utama.
Sesi kedua menghadirkan Safwan Ashari Raharusun, perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Sorong dan jurnalis Tribun Sorong. Ia menyoroti posisi jurnalis lokal Papua sebagai aktor kunci dalam menyuarakan berbagai persoalan yang kerap luput dari perhatian media nasional. “Jurnalis di Papua seringkali menjadi jembatan informasi antara masyarakat adat dan dunia luar. Banyak isu seperti perampasan lahan, konflik atas proyek strategis nasional, dan krisis sosial akibat ekspansi perkebunan sawit tak terjangkau media arus utama,” katanya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa media harus mengambil peran sebagai alat koreksi terhadap kebijakan dan praktik pembangunan yang merugikan lingkungan dan masyarakat adat. Ia juga menyoroti bahwa jurnalis harus menjadi bagian dari gerakan sosial yang memperjuangkan hak atas informasi dan lingkungan yang sehat. “Kita bukan hanya peliput, kita adalah bagian dari perjuangan,” ujarnya, sembari menekankan bahwa ruang redaksi harus lebih terbuka terhadap suara-suara dari akar rumput, termasuk kelompok perempuan, adat, dan pemuda.
Pada sesi ketiga, Zacharias A. Inaury, Koordinator Program VCA Tanah Papua dari WWF Indonesia, menjelaskan bagaimana program Voices for Just Climate Action (VCA) sejak 2021 telah bekerja di empat wilayah: Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Selatan, dan Papua Tengah. Ia menyoroti pentingnya media sebagai alat dokumentasi dan jembatan advokasi antara komunitas lokal dan pemangku kebijakan. “Kami mengembangkan model kerja kolaboratif, di mana jurnalis independen dan komunitas lokal mengumpulkan data lapangan bersama, lalu dijadikan konten advokasi dan kampanye,” jelasnya.
Ia juga memaparkan bahwa kelompok perempuan adat kini memainkan peran vital dalam menjaga ketahanan pangan dan ekologi, mulai dari dapur hingga forum advokasi. Sementara itu, kalangan pemuda dilibatkan dalam pelatihan media dan teknologi agar dapat mendokumentasikan praktik-praktik baik adaptasi iklim lokal dan menyebarkannya melalui kanal digital. Menurutnya, keberhasilan narasi perubahan iklim sangat bergantung pada kekuatan cerita, kolaborasi lintas sektor, dan pengakuan terhadap kearifan lokal.
Sebagai penutup, Febrilia Ekawati dari C4Ledger dan Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS) Lampung mengangkat pentingnya inklusivitas dalam jurnalisme iklim. Ia menyoroti bahwa masih banyak kasus kriminalisasi terhadap jurnalis dan warga yang menyuarakan kritik terhadap proyek-proyek besar. “Kita tidak bisa bicara keadilan iklim tanpa memastikan akses informasi yang setara, termasuk bagi kelompok disabilitas seperti masyarakat tuli dan buta,” jelasnya. Ia mendorong media untuk lebih adaptif melalui penggunaan closed caption, narasi suara, dan visual yang ramah disabilitas.
Diskusi ini menjadi ruang konsolidasi penting bagi jurnalis Papua dan organisasi sipil untuk memperkuat peran media dalam menghadirkan narasi perubahan iklim yang adil, inklusif, dan berbasis komunitas. Kegiatan ini sekaligus menegaskan bahwa jurnalis tidak hanya bertugas sebagai peliput, tetapi juga bagian penting dari narasi perubahan yang harus berdiri bersama masyarakat dalam menghadapi krisis iklim —yang dampaknya paling dahulu dirasakan oleh komunitas-komunitas rentan di Indonesia.

